Di Tepi Sejarah, Gaya Modern Dalam Memahami Arti Bangsa Indonesia Merebut Kemerdekaan

IndonesiaNew, JAKARTA – Banyak cara untuk menghidupkan sejarah Indonesia melslui pendidikan. Salah satunya dituangkan ke dalam monolog teater bertajuk di tepi sejarah.

Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi, (Kemendikbudristek) Indonesia bekerjasama dengan Titimangsa menghadirkan monolog teater bertajuk di tepi sejarah. Pementasan ini bisa diakses melalui Kanal Indonesiana yang merupakan kanal media khusus budaya yang diinisiasi Kemendikbudristek.

Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Ahmaf Mahendra menyampaikan agar publik berpartisipasi mengembangkan melalui pementasan Monolog Di Tepi Sejarah.

“Karya Monolog ini merupakan inisiatif
kecil yang dapat memberi makna baru bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Sudut pandang lain dalam melihat peristiwa sejarah yang ditawarkan dalam seri monolog ini menunjukkan bahwa kontribusi sekecil apapun dalam perjuangan kemerdekaan juga begitu berarti,” ucapnya, Senin (20/9/2021).

Diskuinya, tokoh yang diangkat dalam pentas ini mewakili semangat perjuangan seluruh komponen rakyat Indonesia kala itu untuk keluar dari penjajahan. Semangat yang sangat dibutuhkan hari ini ketika Indonesia tengah berjuang melawan pandemi.

Seri Monolog “Di Tepi Sejarah” mengulang kesuksesan Sandiwara Sastra yang gemilang, merupakan sebuah seri monolog hasil kolaborasi terbaru Kemendikbudristek, Titimangsa Foundation dan Kawan Media menceritakan tentang tokoh yang ada di tepian sejarah, mereka yang mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia.

Meski begitu, justru seringkali berada di pusaran sejarah utama dan menjadi saksi peristiwa penting di Indonesia. Apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan yang telah mereka alami diharapkan dapat menjadi jalan bagi kita untuk lebih memaknai arti kemerdekaan bangsa Indonesia yang pada tahun ini telah memasuki tahun ke-76. Seri Monolog “Di Tepi Sejarah” ini diprakarsai Happy Salma dan Yulia Evina Bhara selaku Produser dari Titimangsa Foundation dan Kawan Media.

Produser Titimangsa Foundation, Happy Salma menambahkan bahwa ide awal seri monolog Di Tepi Sejarah tercetuskan ketika sedang menggarap monolog “Aku Istri Munir” berkisah tentang Suciwati Munir dan naskahnya ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.

“Monolog ‘Aku Istri Munir’ kala itu saya mainkan di ruang yang kecil, sebuah kamar dalam sebuah rumah. Memang niat awalnya pentas ini merupakan persembahan kecil saja bagi perjuangan Suciwati Munir. Tapi banyak sekali yang setelah menonton pentas itu menjadi menemukan jalan lain untuk merawat ingatan. Dari situ, saya jadi terinspirasi bahwa dengan situasi sekarang, banyak juga cara untuk tetap bergerak, berbuat dan semoga bermanfaat lewat panggung teater yang tidak kehilangan ruh panggungnya,” katanya.

“Dimainkan hanya oleh satu orang pemain agar terasa intim dan personal membawakan makna tentang kemanusiaan. Aktor-aktor yang terlibat juga aktor handal bertalenta dan sungguh-sungguh juga disiplin. Dalam hal ini, saya
berharap Di Tepi Sejarah dapat menjadi kaca mata lain bagi bangsa Indonesia melihat sejarahnya,” ungkapnya.

Di Tepi Sejarah mengangkat 4 judul monolog yaitu “Nusa Yang Hilang”, “Radio Ibu”, “Sepinya Sepi”, dan “Amir Akhir Sebuah Syair”, yang keempatnya mewakili keanekaragaman wilayah melibatkan orang-orang di pelosok Indonesia. Pertunjukan ini upaya memberikan sudut pandang baru untuk Indonesia melihat sejarahnya. Rangkaian monolog ini bekerjasama dengan Aktor, Sutradara Teater, Sutradara Visual, dan Penulis Naskah berbeda untuk setiap judul, dan tentu mumpuni di bidangnya.

Di sisi lain, Laura Basuki yang juga terlibat di monolog ini mengaku baru kali pertama beradegan di teater. Pasalnya, Laura mengaku jika dirinya hanyalah jebolan seorang pemain film. Laura Basuki merasa ada kekhawatiran dalam berakting di teater, pasalnya teater dan film memiliki perbedaan yang mencolok sehingga ditakutkan tak bisa memberikan hasil yang maksimal.

“Background aku kan di film dan sejauh ini enggak pernah terpikirkan kalau aku bakal main di teater. Pas ditawarin Happy Salma jadi stress, aq deg-degan apalagi di teater aku main sendirian tanpa diulang selama 35 menit,” ucapnya.

“Saya liat script dan langsung down banget, karena khawatir enggak bisa maksimal apalagi jalan ceritanya itu bagus banget. Aku atihan 15 kali, problem pasti ada di mana warna karakter suara aku tipis. Jadi diminta lari tapi sambil berdialog,” kenangnya.

Lain halnya dengan Chicco Jerrico, di mana dirinya harus memerankan 6 karakter sekaligus. Terlebih, ketika tawaran datang pada Chicco Jerrico untuk bisa mengetahui karakter yang dimainkan dirinya tak memiliki waktu yang banyak.

“Awalnya dikasih 3 karakter, seiring berjalan waktu akhirannya 6 karakter. Pas dapat script kebetulan aku lagi syuting jadinya sulit untuk mengeksplore karakter yang aku mainkan. Fokus saat itu lebih ke teater, karena buat saya ini dunia baru di dunia monolog teater,” tuturnya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.